1.
PENJELASAN KOPERASI SECARA GLOBAL
Dalam ilmu
perkoperasian di Jerman, koperasi
dalam pengertian ekonomi adalah perhimpunan yang mempunyai empat ciri khusus
berikut ini:
·
Sekelompok
orang, yang disatukan oleh paling sedikit satu kepentingan ekonomis yang sama
bagi semua anggota kelompok itu;
·
Tujuan
kelompok, baik secara menyeluruh maupun setiap anggota kelompok secara
individual, yaitu memajukan kepentingan bersama dengan tindakan bersama
berdasarkan solidaritas dan gotong royong;
·
Alat
untuk mencapai tujuan, yaitu membentuk badan usaha yang dimiliki bersama,
dibiayai bersama dan dikelola bersama;
·
Tujuan
utama badan usaha yang dimiliki bersama tersebut yaitu memajukan kepentingan
ekonomis para anggota kelompok.
Dengan demikian, kelompok yang lahir
dalam suasana ekonomis yang mencerminkan empat ciri khusus diatas diklasifikasikan
sebagai koperasi dalam pengertian ekonomi, selain dari badan usaha dengan mana
koperasi itu bekerja (perseroan, persekutuan, perhimpunan dan lain-lain). Empat
ciri berikut tidak serta merta diklasifikasikan tanpa adanya hukum positif yang
mengatur. Definisi hukum tentang istilah “koperasi” mempunyai fungsi untuk menentukan ciri-ciri khusus koperasi
sebagai bentuk badan usaha yang sah, untuk membedakan koperasi dari
bentuk-bentuk badan usaha lain dan menetapkan dengan
jelas terhadap tipe badan usaha yang
mana hukum koperasi itu akan berlaku.
Apabila
ditarik kesimpulan dari pasal 828
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Swiss, Pasal 1 Undang-Undang Koperasi Jerman,
Pasal 2 dekrit Perkumpulan Koperasi Perancis, dan Pasal 4 Undang-undang
Koperasi India 1912, koperasi adalah perhimpunan orang-orang dengan keanggotaan
berubah-ubah didasari atas asas berdikari untuk memajukan kepentingan ekonomi
para anggotanya yang menjalankan usaha yang dimiliki bersama di mana pemilik
dan penggunaan usaha bersama itu merupakan orang-orang yang sama (asas
identitas).Perhimpunan orang-orang dapat disahkan sebagai suatu koperasi
setelah adanya pendadtaran dan pandangan dari aspek ekonomi juga menyetujui
akan hal itu sesuai dengan UU Perkoperasian.
Definisi
koperasi tidak hanya dapat di lihat dari aspek ekonomi dan hukum. Berbagai
tokoh mengemukakan definisi koperasi secara menyeluruh. Definisi koperasi
secara jelas, padat dan mengandung visi dan misi dari koperasi dikemukakan oleh
Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, dalam bukunya The Cooperative
Movement, koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan
ekonomi berdasarkan tolong-menolong. Semangat tolong menolong tersebut didorong
oleh keinginan memberi jasa kepada kawan berdasarkan “seorang buat semua dan
semua buat seorang”. Sementara itu, International Cooperative Alliance (“ICA”)
sebagai organisasi gerakan koperasi yang tertinggi juga mengemukakan definisi
bahwa koperasi sebagai:
“An autonomus association of persons
united voluntarily to meet their common economic, social and cultural needs and
aspirations through a jointly-owned and democratically-controlled enterprise”.
Definisi
yang dikemukakan oleh ICA ini memiliki arti bahwa koperasi adalah sebuah
asosiasi otonom orang yang bersatu secara sukarela memenuhi kebutuhan bersama
mereka ekonomi, sosial dan budaya dan aspirasi melalui perusahaan bersama-sama
dimiliki dan dikendalikan secara demokratis. Perusahaan yang dimaksud oleh ICA
ini merupakan koperasi itu sendiri yang dibuat oleh orang yang bersatu secara
sukarela.
ICA
juga mengemukakan prinsip-prinsip koperasi yang harus ada. Prinsip-prinsip
tersebut adalah kerja sama yang erat di tingkat regional, nasional maupun
internasional antara anggota secara terbuka tanpa adanya pembatasan yang
dibuat-buat dipimpin dengan cara demokrasi atas dasar satu orang satu suara.
Terlihat jelas bahwa koperasi tidak terlepas dari asas, prinsip dan sifatnya
yang lebih mengedepankan kekeluargaan dan kesejahteraan anggota. Hal ini yang
menjdi titik pembeda sekaligus karakteristik dari sebuah badan usaha koperasi
dibandingkan badan-badan usaha lain yang ada di Indonesa. Karakteristik ini juga
telah disetujui oleh beberapa tokoh koperasi seperti Rochdale, Dr. Fauget dan
Mohammad Hatta serta ICA.
2.
KOPERASI
MENURUT UU INDONESIA
Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang perkoperasian menyatakan
bahwa:
“Koperasi
adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum
koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanyasebagai modal untuk
menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang
ekonomi, sosial, dan budaya sesuai nilai dan prinsip koperasi.”
Berbeda
dengan itu, dalam undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang No.25 Tahun 1992
Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa:
“Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang ataubadan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkanprinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasaratas asas kekeluargaan.”
Dari
pengertian diatas, perbedaan UU No 25 Tahun 1992 dan UU No 17 Tahun 2012
tentang Perkoperasian adalah sebagai berikut:
a.
Dalam UU No 25 Tahun 1992 menjabarkan
pengertian koperasi sebagai badan usaha dan badan hukum yang beranggotakan
orang-perseorangan. Sedangkan UU No 17 Tahun 2012 menjabarkan pengertian
koperasi sebagai badan hukum yang didirikan oleh orang-perseorangan. Perbedaan tersebut,
terlihat dari pemilihan kata yang digunakan untuk mendeskripsikan koperasi
yakni badan usaha dan badan hukum yang jelas memiliki makna yang berbeda.
Di
mana badan usaha merupakan badan yang menguraikan falsafah, prinsip, dan
landasan-landasan yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan usaha, sedangkan
badan hukum merupakan bagian dari badan usaha yang bersifat lebih mengikat dan
ada sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggaran. Dalam badan hukum juga
terdapat persetujuan pemerintah atas penyelenggaraan suatu usaha.
b.
Dilihat dari segi konsistensi kata
(diksi kalimat/ pilihan kata) dalam pengertian koperasi menurut UU No 25 Tahun
1992, terjadi ketidak konsistenan kata, di mana dalam UU No 25 Tahun 1992 tidak
hanya menguraikan pengertian koperasi sebagai badan usaha tetapi pula sebagai badan
hukum. Sedangkan UU No 17 Tahun 2012 terjadi hal yang berlawanan yakni: adanya
konsistenan kata yang digunakan untuk mendeskripsikan pengertian koperasi yakni
penggunaan kata badan hukum. Terlepas dari perbedaan pendefinisian di atas, R.
S. Soerja Atmadja memberikan definisi tentang koperasi sebagai berikut:
“Koperasi
adalah perkumpulan dari orang-orang yang berdasarkan persamaan derajat sebagai
manusia, dengan tidak membedakan haluan agama atau politik dengan sukarela
masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atau
tanggungjawab.”
Mendasarkan
pada beberapa denifisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat dari koperasi adalah perkumpulan orang yang secara
bersama-sama berusaha memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat kebendaan dengan
mendirikan badan usaha koperasi.
3.
LANDASAN
DAN ASAS KOPERASI
Dalam
pasal 2 Undang-Undang No.17 Tahun 2012
tentang Perkoperasian dijelaskan bahwa “koperasi
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republk Indonesia Tahun
1945”. Selanjutnya dalam pasal 3
dijelaskan bahwa “koperasi berdasar atas
asas kekeluargaan”. Mencermati dari kedua ketentuan di atas, dapat
digarisbawahi bahwa adanya badan usaha koperasi di Indonesia berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila, sedangkan
koperasi di Indonesia berasaskan “asas
kekeluargaan”. Sehubungan dengan itu, dengan mencermati pasal-pasal dalam
UUD 1945 beserta penjelasannya dan juga Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dapat
dipahami bahwa baik founding father maupun para penentu arah negara kita pada waktu
itu sampai sekarang, ingin mencanangkan koperasi sebagai satu-satunya bangun
atau bentuk dari wadah bagi aparat produksi yang dapat diterima oleh nilai-nilai
keadilan bagi bangsa kita.
Hal
ini dapat diketahui dalam Pasal 33 ayat 1
UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
Selanjutnya, dalam
penjelasan pasal tersebut dinyatakan, sebagai berikut:
“Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi
ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau
penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang-perseorangan. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu ialah koperasi.”
Selain
itu, disebutkan pula dalam GBHN
bahwa koperasi merupakan “salah satu
bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan UUD 1945” yang cocok
sesekali untuk dipakai “ dalam rangka memecahkan ketidakselarasan di dalam
masyarakat, karena adanya selapisan kecil masyarakat dengan kedudukan ekonomi
yang sangat kuat dan menguasai sebagian besar kehidupan ekonomi nasional,
sedangkan di lain pihak bagian terbesar dari masyarakat berada dalam keadaan
ekonomi yang lemah dan belum pernah dapat menjalankan peranannya yang besar
dalam kegiatan perekonomian nasional”. Lebih lanjut, dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN.Bab IV
Pola Umum Pelita Dua tentang Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan Ekonomi secara
lebih terperinci dicantumkan pula tempat, tugas dan peranan koperasi dalam
pembangunan, yaitu:
“Usaha meratakan pembangunan harus pula
mencangkup program untuk memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada
pengusaha-pengusaha kecil dan menengah untuk memperluas dan meningkatkan
usahanya dalam rangka memperluas pengikut serta golongan ekonomi lemah dalam
ruang lingkup tanggung jawab yang lebih besar, dengan jalan mengusahakan kesempatan
untuk dapat memperkuat permodalannya, meningkatkan keahliannya untuk mengurus
perusahaannya dan kesempatan untuk dapat memperkuat permodalannya. Dalam
hubungan ini koperasi sebagai salah satu wadah penghimpunan kekuaatan ekonomi
lemah akan lebih ditingkatkan peranan serta kemampuannya melalui program
menyeluruh, dengan mengutamakan koperasi-koperasi di bidang pertanian,
peternakan, perikanan, perkebunan rakyat, dan kerajinan tangan.”
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara konstitusional koperasi
telah diakui kedudukannya. Kedua landasan konstitusional tersebut secara
tersirat menjelaskan bahwa bentuk atau wadah bagi aparat produksi yang sesuai
denga nilai-nilai bangsa Indonesia adalah koperasi.
Penjelasan
pasal 33 UUD 1945 menempatkan kedudukan koperasi sebagai sokoguru perekonomian
nasional, dan sebagai bagian intergral dari tata perekonomian nasional. Menurut
Kamus Umum Lengkap karangan Wojowasito, arti dari sokoguru adalah pilar atau tiang. Jadi, makna dari istilah koperasi
sebagai sokoguru perekonomian dapat diartikan sebagai pilar “penyangga utama” atau “tulang punggung” perekonomian. Ditinjau
dari sisi badan usaha atau pelaku bisnis, ada tiga kelompok pelaku bisnis dalam
sistem perekonomian nasional yaitu:
a.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
b.
Badan Usaha Koperasi (BUK).
c.
Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)
Ketiga
badan usaha tersebut memiliki ciri-ciri, karakteristik, dan model masing-masing
dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa peran
koperasi dari ketiga pelaku ekonomi nasional tersebut diharapkan akan mampu
berperan sebagai pilar utama sebagai penyangga ketiga jenis badan usaha
tersebut maupun perekonomian nasional. Selain itu, kekhususan koperasi jika
dibandingkan dengan bentuk badan usaha lainya adalah fungsi koperasi sebagai
pengemban utama pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Sedangkan BUMN
cenderung melakukan kegiatan sebagai stabilitator dan perintis perekonomian
Indonesia. BUMS cenderung untuk melakukan peran utama di bidang pertumbuhan
ekonomi nasional.
Lebih lanjut, menurut Mubyarto, dalam ekonomi
Pancasila koperasi memang tidak hanya “salah
satu dari 3 bangun usaha”, tetapi benar-benar merupakan alat perjuangan golongan ekonomi lemah untuk memajukan
usahanya dan meningkatkan kesejahteraannya. Syarat mutlak usaha koperasi
haruslah “ada kaitan” degan kehidupan
(usaha atau rumah tangga) anggota-anggotanya. Dengan perkataan lain, koperasi
harus merupakan “extension” (sambungan atau perluasan) dari usaha rumah tangga
anggota, dengan mana usaha-usaha anggota koperasi akan dapat dijalankan lebih
baik, lebih efektif dan lebih efisien. Dan tujuan mereka medirikan koperasi
adalah tidak serta merta mendirikan usaha baru (new venture), akan tetapi
koperasi harus dimulai dari orang-orang, baik produsen atau konsumen.
Senada
dengan itu, menurut Mohammad Hatta dalam pidatonya tanggal 14 Juli 1951
mengatakan sebagai berikut
“apabila kita
membuka UUD 1945 dan membaca serta menghayati isi pasal 38, maka tampaklah di
sana akan tercantum dua macam kewajiban atas tujuan yang satu...”.
Tujuan
yang dimaksud adalah menyelenggarakan kemakmuran rakyat dengan jalan menyusun
perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasarkan kekeluargaan tidak lain
adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerja sama antara mereka
yang berusaha sebagai satu keluarga. Adapun yang dimaksud dengan Pasal 38 dalam
pidato Muhammad Hatta tersebut adalah Pasal
38 UUDS 1950, yang isinya sama persis dengan Pasal 33 UUD 1945.
Berkaitan
dengan itu, Sri Edi Suwasno memberikan penafsiran bahwa perkataan disusun dalam
Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 berarti “direstruktur”. Dalam konteks
restrukturisasi ekonomi, maka perkataan “disusun”
berarti merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan
subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi
ekonomi (yang participatory dan emancipatory). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak lain adalah sistem demokrasi ekonomi.
“Ekonomik colonial” di sini berkonotasi
sistem ekonomi “subordinasi” yang
eksploitatif dan paternalistik. Dalam sistem ekonomi semacam itu ada “si tuan” yang penjajah dan ada “si hamba” yang inlander terjajah,
beserta derivat-derivatnya dalam bentuk hubungan “majikan-kuli”, atau “toke-buruh”.
Disitu terpelihara sistem ekonomi yang menyedot nilai -tambah ekonomi dari
bawah keatas. Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah wujud konkritnya.
Sedangkan
yang dimaksud “ekonomi nasional”
sebagai cita-cita kemerdekaan adalah sistem “demokrasi ekonomi”, yang anti eksploitasi, anti paternalisme,
menolak “asas perorangan”, yang berdasar
pada “asas kebersamaan dan kekeluargaan”.
Dengan ditolaknya “asas perorangan”
maka secara otomatis liberalisme sebagai sukma kapitalisme secara tegas
pula ditampik. Dalam sistem “demokrasi
ekonomi” inilah ditegaskan, bahwa “kepentinganmasyarakatlah
yang utama, bukan kepentingan orang-seorang”. Pengutamaan kepentingan
masyarakat tidak berarti kepentingan orang-seorang diabaikan, bahkan tetap
dipelihara. Kepentingan orang-seorang berdimensi sosial, milikpribadi berfungsi
sosial. Itulah sebabnya dalam sistem yang demokratis ini, disamping diutamakan
kekeluargaan dan kebersamaan integralisme dan kolektivisme seperti tersurat dan
tersirat dalam pasal-pasal, 2, 23, 33,
dan 34 UUD 1945, juga dipelihara hak-hak pribadi warga negara (human right)
seperti yang tertuang di dalam pasal-pasal,
27,28, 29 UUD 1945.
Dengan
demikian koperasi memiliki kedudukan yang jelas sebagai soko-guru perekonomian
Indonesia baik secara historis, konseptual, maupun secara konstitusional.
Kedudukan koperasi tersebut telah dirumuskan oleh founding father kita secara
jelas dan rinci, baik dari segi falsafahnya (Pancasila), penjelasan strukturalnya
(UUD 1945), penjabarannya (GBHN), bahkan setelah itu sampai saat ini telah pula
dirumuskan secara operasionalnya (UU tentang Koperasi). Sistem ekonomi berdasar
pada amanat dan semangat Pasal 33 UUD 1945 tersebut menempatkan koperasi
sebagai sokoguru perekonomian dan negara sebagai penguasa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Dari
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara filosofis kita telah memiliki
landasan bagi pengelolaan perekonomian di Indonesia yang berkeadilan sosial,
yaitu Pasal 33 UUD 1945 dan perubahanya.
Adapun badan usaha yang sesuai dan paling ideal untuk itu adalah koperasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum
Koperasi, (Bandung: Alumni, 1982)
Hendrojogi, Koperasi
Asas-asas, Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Kwik Kian Gie, Analisis
Ekonomi Politik Indonesia, Cet Ke-4, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995)
Rifin Sitio, Koperasi:
Teori dan Praktik, (Jakarta: Erlangga, 2001)